KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN UNTUK LEGALITAS E-BUSINESS

KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN UNTUK LEGALITAS E-BUSINESS

Untuk kepentingan menjaga dan menjamin kelangsungan e business di Indonesia perlu di lakukan perbaikan (revisi) materi hukum terhadap perangkat hukum yang telah ada terkait disesuaikan untuk mendukung kegiatan e business dan pembuatan undang undang khusus yang memang sangat dibutuhkan. Namun perubahan dilakukan secara bertahap dan pararel, bertahap dengan mengadakan revisi perundangan yang telah ada, dan membuat undang undang baru di bidang hukum telematika (cyber law) seperti rancangan undang undang tentang Informasi dan transaksi elektronik perubahan pararel seiring proses perancangan undang undang di DPR dan Pemerintah, maka perlunya pembuatan peraturan perundangan terkait dengan kegiatan e-Business , dimana tingkatannya di bawah undang undang secara sektoral perbidang departemen teknis.

Hukum Telematika adalah hukum terhadap perkembangan konvergensi TELEMATIKA yang berwujud dalam penyelenggaraan suatu sistem elektronik, baik yang terkoneksi melalui internet (cyberspace) maupun yang tidak terkoneksi dengan internet.

Lingkup pengkajiannya adalah terfokus kepada setiap aspek-aspek hukum yang terkait dengan keberadaan sistem informasi dan sistem komunikasi itu sendiri, khususnya yang dilakukan dengan penyelenggaraan sistem elektronik, dengan tetap memperhatikan esensi dari:
(1) keberadaan komponen-komponen dalam sistem tersebut, yakni mencakup: (i) perangkat keras (ii) perangkat lunak, (iii) prosedur-prosedur (iv) perangkat manusia, dan (v) informasi itu sendiri; dan
(2) keberadaan fungsi-fungsi teknologi di dalamnya yakni: (i) input, (ii) proses, (iii) output, (iv) penyimpanan dan (v) komunikasi.

Dalam prakteknya kedua variabel tadi dalam cyberspace dikenal sebagai empat komponen, yakni:

1. Content
Yakni keberadaan Isi ataupun substansi dari Data dan/atau Informasi itu sendiri yang merupakan input dan output dari penyelenggaraan sistem informasi yang disampaikan kepada publik, mencakup semua bentuk data/informasi baik yang tersimpan dalam bentuk cetak maupun elektronik, maupun yang disimpan sebagai basis data (databases) maupun yang dikomunikasikan sebagai bentuk pesan (data messages);
2. Computing
Yakni keberadaan Sistem Pengolah Informasi yang berbasiskan sistem komputer (Computer based Information System) yang merupakan jaringan sistem informasi (computer network) organisasional yang efisien, efektif dan legal. Dalam hal ini, suatu Sistem Informasi merupakan perwujudan penerapan perkembangan teknologi informasi kedalam suatu bentuk organisasional/organisasi perusahaan (bisnis).;
3. Communication
Yakni keberadaan Sistem Komunikasi yang juga merupakan perwujudan dari sistem keterhubungan (interconnection) dan sistem pengoperasian global (interoperational) antar sistem informasi/jaringan komputer (computer network) maupun penyelenggaraan jasa dan/atau jaringan telekomunikasi.
4. Community
Yakni keberadaan masyarakat berikut sistem kemasyarakatannya yang merupakan pelaku intelektual (brainware), baik dalam kedudukannya sebagai Pelaku Usaha, Profesional Penunjang maupun sebagai Pengguna dalam sistem tersebut.

Keberadaan hukum sebagai suatu aturan (rule of law) adalah berbanding lurus dengan melihat sejauhmana pemamahan hukum dan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri terhadap informasi hukum yang tengah berlaku.

Tidak akan ada suatu ketentuan hukum yang akan dapat berlaku efektif ditengah kehidupan masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak pernah dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, pola yang lebih interaktif dalam mengkomunikasikan informasi hukum tersebut tentunya harus dapat menangkap dengan baik feedback yang baik dari masyarakatnya, sehingga ia akan dapat menimbulkan kesadaran hukum ditengah masyarakat. Hal tersebut tidak akan didapat hanya dengan sosialisasi ataupun penyuluhan hukum saja, melainkan juga harus dengan pengembangan sarana komunikasi ataupun infrastruktur informasi yang baik dan dapat diakses dengan mudah dan murah oleh masyarakat.

Dengan melihat kepada dasar keberlakuan hukum yang melihat kepada aspek filosofis, aspek sosiologis dan aspek yuridis. Maka, jika pembuatan hukum hanya dengan melihat aspek yuridisnya saja dengan cara melakukan perumusan hukum (legal drafting) oleh segelintir elit bangsa tanpa melibatkan peran aktif masyarakatnya, tentunya wacana hukum terhadap hal tersebut tidak akan pernah aktif berkembang di tengah masyarakat dan otomatis tidak pernah akan mendapatkan peran aktif dari masyarakat. Apalagi bila ternyata hal tersebut hanya bermula dari kasus-kasus yang tengah terjadi dimasyarakat yang kurang terkaji secara mendalam substansi permasalahannya. Lambat laun, akhirnya kondisi tersebut hanya akan mengakibatkan kondisi “hiperegulasi” dimana begitu banyak hukum positif yang dinyatakan berlaku, namun tidak pernah efektif di masyarakat karena ternyata masyarakat merasa tidak pernah tahu menahu dengan informasi hukum tersebut.

Secara garis besar, pembenahan aspek hukum yang terkait dengan perkembangan e-business harus dapat menghimpun kaedah-kaedah hukum yang mungkin selama ini masih terdistribusi dalam bidang-bidang hukum yang sepintas lalu berlainan, khususnya yang mengatur mengenai;
- Keberadaan suatu Isi Informasi berikut tindakan penyajiannya kepada masyarakat (Dissemination Information = Media Law + Broadcasting Law);
- keberadaan sistem telekomunikasi (Telecommunication Law); dan
- keberadaan sistem pengolahan Informasi (Informatics Law).
- Keberadaan sistem kemasyarakatan penggunanya (self regulatory society).

Lebih lanjut, sehubungan dengan keragaman pola hubungan hukum yang dilakukan oleh para Pelaku Usaha dalam bidang ini, maka aspek-aspek hukum yang terkait dengan hal-hal tersebut di atas adalah;

- Aspek hukum pribadi ataupun perusahaan terhadap identitas Subyek Hukum yang bertanggung jawab terhadap keberadaan suatu situs. Hal ini akan mencakup semua bentuk-bentuk organisasi perusahaan dan model kegiatan bisnis perusahaan/business activities, berikut keberadaannya sebagai suatu badan hukum (Company Law);
- Aspek hukum perikatan terhadap hubungan hukum para pihak, dalam melakukan transaksi perdagangan secara elektronik (Contractual & Legal Settlements);
- Aspek hukum mengenai pembuktian dan persidangan terhadap transaksi yang dilakukan secara elektronik (Evidence and Trial);
- Aspek hukum mengenai keberadaan HAKI (Intellectual Property Rights) sebagai perlindungan hukum bagi kreasi intelektual dalam lingkup bidang Teknologi Informasi, Media dan Telekomunikasi.
- Aspek hukum mengenai perlindungan hukum bagi para pengguna (Consumers Protection + Advertising Law);
- Aspek hukum mengenai persaingan antar para Pelaku Usaha (Anti Trust and Competition Law);
- Aspek hukum mengenai perpajakan dan pabean (Taxations and Customs duties);
- Aspek hukum mengenai pengaturan sistem keuangan transaksi perdagangan secara elektronik: Managing Digital Currencies and Implications for Central Banks (Financial and Monetary Law);
- Aspek hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap tindakan pelanggaran dan/atau kejahatan anggota masyarakat sebagai perwujudan penegakkan norma-norma yang berlaku: Computer Crime, Money Laundering, and Fraud (Criminal Law);
- Aspek hukum mengenai standarisasi dan teknis pertelekomunikasian: Technical Standards & Telecommunications Infrastructure. (Broadcasting, Informatics and Telecommunication Law;
- Aspek hukum yang menyangkut tentang tata cara pelaksanaan perdagangan per sektor, contoh perdagangan di sektor Pertambangan, Minyak dan Gas.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil suatu Kerangka Hukum Nasional untuk E-commerce dengan Tujuan Utama Kebijakan dan Pengaturan (Regulatory Objectives) a.l ;
- Efisiensi sistem perekonomian nasional (economic efficiency) dengan konsistensi keterpanduan pandangan socio-technical-business perspectives;
- Pengembangan semua potensial pasar, tanpa harus dengan campur tangan penentuan harga (wholesale markets should be encouraged without price regulation);
- Keseimbangan hukum antara perlindungan hak indivudal dengan kepentingan umum;
- Menstimulus perkembangan dinamika sosial agar dapat menciptakan suatu kultur yang baik bagi bangsa (culture) sehingga perkembangan teknologi akan sesuai dengan dinamika masyarakat serta, yang dengan sendirinya akan dapat mengurangi ataupun melepaskan diri dari ketergantungan terhadap teknologi, atau bahkan suatu saat akan mampu mengembangkan teknologi sendiri sesuai dengan karakteristik bangsa kita sendiri;
- Pemberdayaan dan Perlindungan hak azasi manusia untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, serta perlindungan terhadap hak-hak konsumen (protection of minors, human dignity, freedom of speech, fraud, incitement, defamation, security, privacy and data protection).
- Meningkatkan iklim usaha yang kondusif dengan mekanisme pasar bebas dan persaingan bebas, dengan arahan kolaborasi nasional untuk mencapai keunggulan kompetisi global. Hal ini tentunya dapat meningkatkan semua sektor-sektor perekonomian yang produktif.
- Terciptanya Infrastruktur Informasi Nasional yang tangguh dalam menghadapi globalisasi informasi dan perdagangan, dengan objektivitas Indonesia akan menjadi bangsa yang berilmu pengetahuan dan menjadi sentra informasi dunia.


Aspek Perlindungan Konsumen

Konsumen dalam transaksi e-business memiliki resiko yang lebih besar daripada penjual atau merchantnya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam e-business sangat rentan. Selain itu ada hal lain yang dapat semakin merugikan pembeli/konsumen, yaitu data dapat dicuri oleh pihak ke tiga pada saat terjadi komunikasi antara pembeli dan penjual, pencuri bisa mendapatkan nomor kartu kredit dengan cara menyusup ke sebuah server atau juga ke sebuah Personal Computer,dan pembeli dapat saja ditipu oleh penjual yang palsu atau fiktif.

Karena itulah selain jaminan yang diberikan oleh penjual atau merchant sendiri, diperlukan juga jaminan yang berasal dari pemerintah. Jaminan dari pemerintah ini diharapkan berupa undang-undang yang dapat memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi konsumen.
Pada tanggal 20 April 2000, Indonesia telah mulai memberlakukan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini mengatur mengenai hak-hak konsumen, dan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi produsen.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah undang-undang perlindungan konsumen tersebut dapat diterapkan pada transaksi e-Business. Jika dikaitkan antara hak-hak konsumen yang terdapat dalam undang-undang perlindungan konsumen dengan hak-hak konsumen pada transaksi e-commerce, maka hak-hak konsumen sangat riskan sekali untuk dilanggar.

Berdasarkan kesimpulan dari diskusi ilmiah “Pengembangan Cyberlaw di Indonesia; Kesiapan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Mengantisipasi Kegiatan E-commerce di kampus Universitas Padjadjaran, tanggal 3 Juni 2000 disimpulkan bahwa hak-hak konsumen dalam e-commerce yang tergolong riskan adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Hal ini dikarenakan para konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh barang yang akan dipesan lewat internet, sebagai mana yang biasa terjadi dalam transaksi tatap muka di pasar.
2. Tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh informasi yang dibutuhkannya dalam bertransaksi, sebab informasi yang tersedia dibuat secara sepihak oleh penjual atau produsen, tanpa ada kemungkinan konsumen melakukan verifikasi.
3. Tidak terlindunginya hak-hak konsumen untuk mengeluh atau mengadu atau memperoleh kompensasi. Hal ini karena transaksi lewat internet, dilakukan tanpa tatap muka, maka ini membuka peluang tidak teridentifikasinya si produsen atau penjual barang/jasa tersebut. Bisa saja produsen hanya mencantumkan alamat yang tidak jelas atau hanya sekadar alamat di surat electronik atau electronic mail yang tidak terjangkau dunia nyata. Akibatnya, bila terjadi keluhan maka konsumen akan kesulitan menyampaikan keluhannya. Selain itu dapat juga keluhan konsumen tidak ditanggapi, sebab sulitnya menuntut produsen di dunia virtual.
4. Dalam transaksi pembayaran lewat e-commerce, biasanya konsumen harus terlebih dahulu membayar penuh (menggunakan kartu kredit), barulah pesanannya diproses oleh produsen atau penjual. Hal ini jelas beresiko tinggi bagi konsumen, sebab membuka peluang terlambatnya barang yang dipesan, atau isi dan mutunya tidak sesuai dengan pesanan atau sama sekali tidak sampai ke tangan konsumen (kemungkinan terjadinya wanprestasi).
5. Transaksi e-business dimungkinkan untuk dilakukan antar negara. Bila terjadi sengketa maka akan sulit ditentukan hukum negara mana yang akan dipakai.

Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Indonesia, terdapat kelemahan yang tidak dapat menjangkau e- business . Kelemahan ini adalah mengenai terbatasnya pengertian pelaku usaha. Dimana Pasal 1 butir 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku Usaha adalah:

Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pelaku usaha dapat berbentuk pelaku usaha di bidang penyediaan dana(investor), di bidang pembuatan barang/jasa (produser) maupun di bidang pengedaran/penjualan barang/jasa (distributor). Sehingga dengan demikian yang menjadi lingkup atau ruang berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen ini hanyalah pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Bagaimana dengan kondisi wilayah territorial alam kegiatan e-Business perlu di perbaiki untuk mendukung kegiatan e-Business .

Untuk pelaku usaha yang berada di luar wilayah Indonesia maka tergantung dari perjanjian antara para pihak. Contoh Amazon.com misalnya menambahkan suatu klausula yang berbunyi “bahwa segala transaksi yang terjadi dengan Amazon.com berlaku “the laws of State of Washington.” Dengan demikian konsumen yang berasal dari negara manapun yang melakukan transaksi dengan Amazon.com tunduk pada hukum negara bagian Washington. Oleh karena itu jika gugatan ditujukan pada penjual atau merchant yang ada di luar negeri, maka gugatan diajukan ke negara yang bersangkutan, dengan menggunakan instrumen hukum perdata internasional, seperti perjanjian atau yurisprudensi. apakah model seperti ini yang di bisa kita pakai atau disesuaikan dengan kebijakan hukum perdata internasional Indonesia dan prinsip yang telah di anut Indonesia.


Aspek Hak Kekayaan Intelektual

1. Perlindungan program Komputer
2. Perlindungan hukum terhadap basis data
3. Perlindungan Situs Informasi (website)
4. Perlindungan hak Paten Metode Bisnis, proses bisnis (business process) , dan Model Bisnis (business model)
5. Lisensi Open Source
6. Nama domain dan Merek


Aspek Harmonisasi Instrumentasi Hukum Internasional

Perangkat hukum Internasional terkait dengan kegiatan e business terwujud dalam Model Law. Model Law sifatnya memang sebagai soft-law tidak mengikat dengan keras ( kewajiban), akan tetapi juga beberapa negara menjadikannya rujukan untuk membentuk instrumen hukum nasional mereka. Hendaknya instrumen hukum nasional Indonesia juga mengharmonisasikan diri dengan perngkat hukum beberapa negara terkait dengan legal frame work for e-Business. Harmonisasi bukan dengan mengkopi undang undang secara utuh tapi juga menyesuaikan dengan unsur hukum Indonesia (filosofi, dan sosiologis hukum Indonesia)

Seringkali orang menyatakan bahwa Teori Yurisidiksi yang berkembang selama ini, lebih menekankan pada unsur teritorinya, sehingga dalam medium cyberspace hal tersebut menjadi sangat tidak relevan lagi. Padahal dalam KUHP yang telah ada sejak dahulu, ternyata keberlakuannya tidak hanya didasarkan atas azas teritori saja, melainkan juga azas nasional pasif, dan azas nasional aktif ataupun universalitas.

Sehubungan dengan hal tersebut ternyata KUHP sepatutnya juga berlaku ekstrateritorial, yakni sepanjang hal yang tersebut dalam pasal-pasal tertentu, maka KUHP juga berlaku terhadap setiap orang/warga negara lain di wilayah negara lain. Jadi tidak benar jika paradigma yurisdiksi hanya ditentukan berdasarkan atas teritori saja, melainkan sepatutnya “demi kepentingan hukum nasional” selayaknya ia dapat dikenakan terhadap warga negara lain dalam wilayah hukumnya.

Sayangnya, kembali para pakar bangsa ini ternyata terlarut dalam paradigma baru tersebut, dimana akhirnya berkembanglah pemikiran bahwa dalam medium cyberspace adalah tidak dengan sendirinya sistem hukum nasional suatu negara dapat berlaku terhadap suatu informasi elektronik yang diakses di negaranya. Sementara kita mengetahui bahwa jelas-jelas informasi yang dapat diakses dan ditampilkan di suatu negara dapat dikatakan telah memasuki wilayah hukum negara tersebut, meskipun keberadaan informasi itupun pada saat yang sama ada di berbagai tempat yang berbeda. Jadi seharusnya bukan wilayah yurisdiksi yang kita permasalahkan, melainkan kepentingan nasionalnya yang selayaknya kita harus perhatikan.

Jika ternyata dipandang bahwa informasi yang disampaikan lewat internet ternyata merugikan Indonesia, selayaknya kita dapat meminta pertanggung jawabannya dari pihak-pihak yang menyiarkan tersebut baik nasional maupun internasional, meskipun tidak ada pasal yang jelas menyatakan hal tersebut. Dengan dalih bahwa internet adalah “barang/fasilitas umum” maka paling tidak pengadilan kita berhak meminta pihak asing tersebut ke Indonesia untuk mendapatkan kejelasan apakah ia menyampaikan informasi berdasarkan fakta dan/atau sesuai dengan etika dalam internet.

Sebenarnya tarik menarik antara wilayah hukum negara mana yang berlaku seringkali menjadi pertikaian antara negara, namun pada esensinya adalah sejauhmana kita berhasil mampu memperlihatkan kepentingan hukum nasional yang lebih banyak dilanggar, dengan tetap memperhatikan semua teori yang berkembang atau melihat titik taut primer dan titik taut sekundernya.

Perlu diingatkan terlebih dahulu, bahwa untuk menentukan suatu tuntutan ataupun gugatan para pihak harus memperhatikan terlebih dahulu tentang dasar hukum apakah ia berhak menuntut atau menggugat (standing to sue). Setelah itu baru para pihak memperhatikan jenis peradilan mana yang berhak mengadili sesuai kewenangannya atas substansi hukum tersebut (“subject matters”/kompetensi absolut) dan wilayah hukum pengadilan mana yang berhak mengadili berdasarkan kedudukan hukum si tergugat (“in personam”), letak barang yang disengketakan (“in rem’) atau kehadiran barang-barang atas dasar penyitaan meskipun keberadaannya ada ditempat lain (“quasi in rem”).

Jika ternyata ada negara lain yang menyatakan “long arm jurisdiction” sehingga dapat menarik orang lain dalam wilayah hukum si penuntut/penggugat, mengapa kita tidak. Dalam konteks perdata, sepanjang hal tertentu, suatu negara memang dapat berwenang mengadili di wilayahnya berdasarkan hukum negara lain.

Jadi sepatutnya meskipun tidak ditentukan secara khusus mengenai yurisdiksi di Internet, pihak penegak hukum harus jeli melihat bahwa sepanjang untuk kepentingan nasional, maka kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk memposisikan bahwa segala macam informasi dan komunikasi yang berkenaan dengan kepentingan nasional Indonesia, adalah merupakan yurisdiksi kita, sebagaimana telah termuat dalam KUHP.

Komentar

Postingan Populer